JAKARTA,Gagas Indonesia Satu.com
– “Di luar
hal-hal yang bersifat teknis dan formal dalam upaya rekonsiliasi Indonesia –
Timor-Leste pascakonflik, pertanyaan substansial yang perlu direfleksikan
secara serius dan mendalam adalah, Apa yang mau kita wariskan dari semua
peristiwa konflik dan kekerasan ini kepada anak-cucu kita kelak? Pertanyaan ini
sangat penting karena konflik dan permusuhan juga dapat diwariskan ke
generasi-generasi berikutnya,” demikian disampaikan Hilmar Farid, B.A.,
M.A., Ph.D., Mantan Dirjen Kebudayaan Indonesia, sebagai final reviewer
dalam acara Peluncuran Dua Buku tentang Ingatan Kolektif Timor Leste Pasca
Konflik di Jakarta.
Acara peluncuran
dan diskusi buku yang berfokus pada sejarah Timor-Leste berlangsung dalam
dialog hangat dan akademis di Ruang Seminar Lt. 3, Gedung AB, Universitas
Kristen Indonesia (UKI) Jakarta pada Kamis, 21 Agustus 2025. Acara ini menjadi
wadah penting bagi para akademisi, sejarawan, dan publik untuk menggali lebih
dalam kisah-kisah masa lalu Timor-Leste dan memori kolektifnya melalui dua buku
"Jejak Jejak Ingatan" dan "Meraih Cahaya".
Acara yang
berlangsung dari pukul 13.00 hingga 16.30 WIB ini menghadirkan serangkaian
pembicara ternama yang memiliki latar belakang dan keahlian mendalam terkait
isu Timor-Leste. Mereka adalah: Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. (penulis
buku dan pembicara utama), Hugo Maria Fernandes (Direktur Eksekutif
Centro Nacional Chega! I.P., Penanggap), Rev. Arlindo F. Marcal (Centro
Nacional Chega! I.P., Penanggap), Teguh Prasetyo, M.Hum. (Dosen UKI,
Penanggap), Prof. Dr. Asvi Warman Adam (Purna Bakti Peneliti BRIN, Penanggap),
Basilio Dias Araujo, S.S., S.H., M.H. (Alumni UKI Jakarta, Penanggap),
dan Hilmar Farid, B.A., M.A., Ph.D. (Mantan Dirjen Kebudayaan Indonesia,
Final Reviewer).
Selain itu, dalam momen penting diskusi ini
hadir pula Jaime Andre Simoes, Atase
Pendidikan Kedutaan Besar RDTL bagi Indonesia, Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, SJ,
pendiri Pusdema, dan Eurico Guterres,
Ketua DPP Forum Komunikasi Pejuang Timor-Timur (FKPTT) yang turut mendukung
sejak awal upaya-upaya rekonsiliasi yang saat ini sedang dikerjakan bersama.
Acara peluncuran dan diskusi buku disambut dan dibuka secara resmi oleh Wakil
Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UKI Dr. rer.po. Ied Veda R.
Sitepu, S.S., M.A.
Hegemoni Sejarah
Diskusi yang
dipandu oleh Susanne A.H. Sitohang, S.S., M.A. sebagai moderator ini
berlangsung interaktif dan membuka wawasan-wawasan baru. Para pembicara secara
bergantian membedah isi kedua buku, menyoroti pentingnya merekam sejarah dari
perspektif yang beragam, serta relevansinya bagi generasi saat ini dan
mendatang. Topik-topik yang dibahas tidak hanya mencakup catatan historis,
tetapi juga implikasi sosial, budaya, dan politik dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi di Timor-Leste.
Teguh Prasetyo mengawali tanggapannya
dengan memanggil memori masa kecilnya tentang Timor-Leste yang disebut sebagai
hegemoni Orde Baru, ketika melihat tidak ada masalah di Timor-Leste. Namun,
memasuki usia dewasa, Teguh memasuki atmosfer pembacaan ulang narasi dan
periode kritis. Transformasi ini ditemuinya ketika berjumpa dengan cerpen Saksi
Mata, Jazz Parfume, Insiden, dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus
Bicara.
“Ada yang tidak baik-baik saja. Ada
historisitas, kontestasi narasi, ini adalah hegemoni politik yang kemudian saya
tangkap. Secara khusus dari kedua buku ini saya melihat ambiguitas dan strategi
naratif dalam karya yang menarik. Buku ini berfokus pada pembacaan memori
kolektif yang disusun sebagai upaya narasi rekonsiliasi dan pengingat bahwa
kejahatan perang tidak boleh sampai terulang.
Di sisi lain, narasi yang ditawarkan juga mencoba untuk menyuarakan yang
lirih dan selama ini kurang terdengar agar menjadi tinjauan bersama membentuk
pemahaman intersubjektif yang berujung pada kemanusiaan yang adil dan beradab,”
simpul Teguh dalam paparannya.
Situs-Situs Ingatan
“Membaca kedua buku ini membuat saya
teringat dengan karya Les Lieux de Mèmoire yang hampir serupa. Dengan
menghadirkan berbagai situs ingatan baik fisik maupun non-fisik, sebagai ruang
atau simbol bagi memori kolektif suatu kelompok, bangsa, atau komunitas. Situs
ini dipilih dan diberi makna khusus karena dianggap penting dalam membentuk
identitas dan ingatan bersama,” ujar Asvi.
Salah satu situs ingatan yang menarik untuk
dilihat bersama adalah keberadaan peringatan Hari Pemuda Nasional Timor-Leste
setiap 12 November. Bagi Asvi, hal ini memiliki sebuah titik balik yang menarik
bagaimana sebuah peristiwa tragedi Pembantaian Santa Cruz 12 November 1991,
ditransformasikan sebagai Hari Pemuda Nasional sebagai upaya merawat ingatan
bersama tersebut. Selain itu Asvi juga menyoroti perihal rekonsiliasi setengah
hati ketika keadilan atas tragedi HAM di masa lalu belum mampu ditegakkan.
Lanskap Spiritual Timor Leste
Arlindo, menyoroti bagaimana agama memiliki
peran dalam proses rekonsiliasi di Timor-Leste. “Agama tidak hanya menjadi
penopang spiritual, tetapi juga bertindak sebagai kekuatan fundamental yang
mendorong perdamaian dan keadilan.” Selama masa konflik, Gereja menjadi salah
satu institusi terpenting yang memberikan perlindungan dan tempat aman bagi
masyarakat. Lebih dari itu, Gereja juga menjadi suara non-kekerasan yang dapat
menjadi ruang kritis atas kekejaman dan
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
Dalam tanggapannya Hugo menguraikan latar
belakang proyek penelitian kerjasama antara CNC dan PUSDEMA ini dikerjakan
sebagai salah satu langkah untuk merawat ingatan kolektif dan usaha-usaha
rekonsiliasi. “Untuk memperkuat hubungan Timor-Leste dengan Indonesia, salah
satunya dapat ditempuh dengan menulis sejarah bersama,” ungkapnya dalam penutup
tanggapan. Lain halnya dengan Basilio, yang melihat proses rekonsiliasi ini
masih memiliki pekerjaan rumah (PR). Dialog yang penuh persaudaraan, melihat
bahwa setiap pihak juga sama-sama menderita menjadi hal yang perlu diperhatikan
pula.
Warisan Kekerasan
Menurut salah satu panitia, acara ini
bertujuan untuk melestarikan memori kolektif dan mendorong dialog yang
konstruktif tentang masa lalu. Buku-buku ini diharapkan dapat menjadi sumber
referensi berharga bagi para peneliti dan mahasiswa yang tertarik pada studi
sejarah dan hubungan internasional.
Sebagai sebuah penutup, Hilmar Farid
merangkum segala dinamika dalam diksusi melalui sebuah refleksi mendalam
berangkat dari sebuah pertanyaan mendasar. “Apa yang ingin kita wariskan pada
generasi selanjutnya di Timor-Leste dan Indonesia? Apakah kemarahan? Kesedihan?
Ketidaktahuan? Atau harapan? Lalu mengapa kita mau melakukan ini? (upaya-upaya
rekonsiliasi).”
Menurutnya, generasi muda Timor-Leste
maupun Indonesia perlu diberikan akses untuk saling mengenal satu sama lain,
hal ini dapat ditempuh setelah pertanyaan mendasar tentang apa yang ingin
diwariskan kepada generasi mendatang itu dapat terjawab. Selain itu, Hilmar
Farid juga memberikan saran bahwa perlu untuk memperharikan berbagai situs
ingatan yang ada, tidak hanya tentang keberadaan situsnya melainkan juga
bagaimana situs ini mampu membangkitkan ‘suasana’. Hal ini penting karena
situs-situs ini hidup dalam keseharian masyarakat dan memberikan ruang bagi
ingatan bersama ini hidup dan diwariskan untuk menjadi sebuah refleksi bersama.
Acara yang
terselenggara berkat kerja sama CNC!I.P, PUSDEMA dan UKI ini menarik perhatian
puluhan peserta. Peluncuran dua buku ini
menjadi pengingat bahwa sejarah adalah fondasi penting untuk memahami identitas
suatu bangsa dan membangun masa depan yang lebih baik, di mana cahaya pemahaman
dan rekonsiliasi dapat terus diraih.
Peluncuran dua
buku ini menjadi pengingat bahwa sejarah adalah fondasi penting untuk memahami
identitas suatu bangsa dan membangun masa depan yang lebih baik, di mana cahaya
pemahaman dan rekonsiliasi dapat terus diraih. (Patria Budi Suharyo)
0 Komentar