KEINGINAN menjadi imam (pastor) hadir dalam deretan cita-cita Carolus Sumarno. Ia sempat berada di seminari Wacana Bhakti, Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta selama dua minggu.. Setelah mendaftar akhirnya ia meninggalkan tempat tersebut. Ia diterima dan berada di seminari itu, pastor yang telah menerimanya mengatakan kepadanya, ‘pulanglah ke rumahmu dan pikirkanlah kembali niatmu nanti boleh engkau datang lagi,’’ ungkap Sumarno menirukan pastor yang menerimanya di seminari kala itu.
Keinginan menjadi imam rupanya belum hilang, setelah ia kembali ke rumahnya, Marno - - demikian panggilan akrabnya selanjutnya menuju ke pertapaan, Lembah Karmel, Puncak, yang diasuh Rm. Yohanes Indrakusuma O. Carm. Tahun 1997 selama satu bulan Marno menyendiri, menghabiskan harin-harinya dengan berdoa sambil mencari keheningan. Ia berdoa biarlah Tuhan memberikan jalan terbaik dalam menentukan jalan hidupnya.
Marno kembali ke Jakarta untuk melakukan tugas kesehariannya. Ia menyadari bahwa panggilan itu suatu misteri Allah. Artinya kalau memang Tuhan sungguh-sungguh memanggilnya suatu saat ia akan membuka hatinya menerima panggilan tersebut namun kalau tidak semuanya adalah Tuhan yang memilih. Kali ini Marno semakin berpasrah kepada kehendak Allah dalam menentukan jalan hidup. Waktu terus berlalu dan ternyata Tuhan menunjukkan jalan Marno bukan sebagai imam yang melayani seluruh umat melainkan menjadi imam keluarga, yang membesarkan buah hatinya agar kelak menjadi pewaris gereja, nusa dan bangsa.
Awalnya
Marno dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah, 17 Maret 1976 sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Ia mengawali pendidikan SD, SMP di kampung. Setelah tamat, Marno melanjutkan SMA Senen, Jakarta , tamat 1991.
Ia menjadi Katolik sejak usia SD ketika itu Marno masih penganut Kristen Protestan, karena diajak teman-teman ikut ke gereja Katolik , Marno mulai tertarik, atas restu kedua orangtua ia mendapat pengajaran Katolik kemudian dibaptis menjadi pengikut Yesus. Pengalaman di kampungnya Marno selalu menonton film (slide) gambar yang tidak bergerak tentang Yesus, inilah menjadi kenangan masa kecil di Sragen.
***
Seiring berlalunya waktu, impian menjadi imam perlahan mulai redup. Ia memikirkan mencari pekerjaan berusaha memperbaki kehidupan lebih baik. Jadilah Marno yang kini penuh semangat untuk mencari uang kemudian menata hidup lebih baik. Ia sama seperti orang muda lainnya. Aktif di gereja, bergaul dalam wadah Orang Muda Katolik (OMK) di paroki Marno berdomisili.
Ketika memasuki dunia kerja, pada mulanya Marno bekerja di PT. Colcorindo dipimpin Bapak Fredy Santoso, Marno bekerja sebagai sopir perusahaan. Pekerjaan ini dilakukan dengan ketabahan, kesabaran. Dengan maksud mencari iklim kerja baru Marno melakoni pekerjaan lain juga sebagai sopir.
Tahun 2002, Marno bekerja di PT. Bintang Ratuna Jaya (dipimpin Bapak Arvianto Setiadinata) sebuah perusahaan begerak di bidang pabrik garmen, dengan lokasi pabrik terletak di bebarapa tempat yakni; Pantai Indah Kapuk, Solo, Cirebon. Menurut Marno pekerjaan ini ia merasa sangat bersyukur karena pemilik perusahaan ini, seorang penganut Katolik yang sangat peduli kegiatan – kegiatan sosial. Menurutnya semangat menggereja pemilik perusahaan ini sangat luar biasa. Ia suka memberikan bantuan terhadap kelompok panti asuhan Katolik yang ada di wilayah KAJ. Selain itu mengunjungi tempat seperti panti werdha sambil memberikan bantuan. “Sebagian besar panti asuhan di Jakarta telah dikunjungi untuk memberikan bantuan,’’ kisah Marno.
Pengalaman sering berbagi membuat Marno secara pribadi senang lewat karya-karya sosial, dan ia terlibat membantu mereka yang menderita, sakit dan terpinggirkan. Berbagi itu membuka ‘mata iman’ Marno sebagai makhluk sosial, bahwa manusia tidak hidup sendiri melainkan perlunya berbagi kepada sesama yang sedang kekurangan. Dikatakan, seandainya tidak bekerja di perusahaan ini pasti ia tidak mendapatkan pengalaman berbagi seperti ini.”Terus terang sejak saya di PT ini iman saya semakin bertumbuh,’’ katanya.
Pengalaman bekerja perusahaan milik penganut Katolik membuat Marno tidak jauh dari kehidupan menggereja. Meskipun sibuk ia selalu meluangkan waktu menjadi lektor di gereja parokinya St, Gregorius Agung, Kutabumi, Tangerang. Di lingkunganya St. Kornelius , Marno didapuk jadi ketua seksi Liturgi. Suatu kebanggan baginya, belum lama ini ia menjadi ketua panitia ziarah lingkungan ke Gua Maria Sawer Rahmat, Kuningan, Jabar. “Ziarah itu berlangsung lancar atas dukungan semua pihak,’’kata Marno.
Keluarga
Ketika bekerja di PT tersebut ia bertemu dengan Anastasia Ratih yang kini menjadi pendamping hidupnya. Ia bekerja di perusahaan bersama Marno, bukan Katolik maka ia setelah melewati tahapan penjajakan Marno berusaha meyakinkan keluarganya. Kepada calon istri asal Banyumas, Purwokerto itu ia menekankan bahwa di dalam gereja Katolik, menikah itu hanya sekali dan seumur hidup, tidak ada perceraian. Meskipun dalam kondisi apapun. Hal lain yang dijelaskan kepada orangtua calon istri bahwa ajaran tertinggi dalam Katolik adalah cinta kasih.
Penjelasan ini akhirnya dipahami keluarga calon istrinya, mereka tidak keberatan bahkan merestuinya dengan menandatangani surat pernyataan kesediaan calon istrinya menikah secara Katolik. “Berbekal restu tandatangani itu kami menikah di Sragen, 26 April 2003,’’kisah ayah dari Katarina Gita Asmarani, Ignatius Prayogi Bimantoro dan Andreas Trystan Bagas Wicaksono.
Kini empat belas tahun lalu pasangan suami istri ini mencecapi hidup menyenangkan juga tidak menyenangkan mewarnai bahtera rumah tangga. Marno berharap dalam kehidupan berkeluarga hidup sesuai dengan firman Tuhan , mewujudkan cinta kasih Yesus melalui hidup berkeluarga karena keluarga adalah gereja kecil. Ia juga berprinsip ia hanya membawa keluarga ini dan membiarkan Tuhan membimbing istri dan anak-anaknya. Ia berharap
Ia mencermati dari segi iman istrinya semakin mengalami perubahan. “Kalau dulu istri saya belum mengenal banyak tentang Katolik, sekarang ia sudah mengerti banyak hal. Rajin berdoa Rosario,’’ kisah Marno tentang istrinya.
Menjalani hidup berkeluarga seperti diakui Marno, selalu ada tantangan. Ia menyebut bisa saja pasangan karena dipengaruhi egois maka bisa membuat ketidaknyamanan dalam keluarga. Tapi di balik semuanya itu ia berusaha mengendalikannya penuh kasih.
Marno memiliki cara mencegah ekses konflik adalah menghidupkan semangat doa keluarga. Untuk meningkatkan kehangatan berkeluarga Marno selalu terlibat Hari Ulangtahun Perkawinan (HUP) tiap tahun. Kesempatan ini seperti ini tidak dilewatkan begitu saja karena melalui HUP ia semakin diteguhkan dalam panggilan sebagai kepala keluarga.
Ia mengakui tidak muluk – muluk dalam hidup berkeluarga, yang paling ia perhatikan adalah rukun, saling memberi perhatian, empati. “Semua hal yang dilakukan baik pasti Tuhan menghendaki saya percaya Tuhanlah yang memberikan perlindungan,’’ katanya.
Marno melihat seluruh pengalaman hidup dalam ‘kaca mata iman’. Tuhan menghendaki tantangan berkeluarga itu sesungguhnya Tuhan mengharapkan setiap orang bisa ‘naik kelas’, maka setiap orang dituntut untuk bisa mengatasi tantangan tersebut. Di sinilah hidup semakin teruji dan daya tahan semakin kuat. Marno berharap semoga pengalaman iman kepada Tuhan Yesus semakin betumbuh, kuat di tengah godaan dunia semakin beragam.***
Konrad R. Mangu
Ket foto; Carolus Sumarno, ketika bertugas jadi lektor paroki Grego Agung, Kutabumi, Tangerang.
0 Komentar