Prof. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum
Gagas Indonesia Satu.com
Di tengah gemuruh era algoritma dan dominasi kemajuan material, sebuah pertanyaan fundamental digemakan dari Yogyakarta, 21 November 2025 bertempat di Universitas Sanata Dharma (USD) hari ini: "Apakah kita masih membutuhkan sastra?" Jawabannya, menurut Prof. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., bukan hanya "ya", melainkan sebuah imperatif moral bagi kelangsungan bangsa.
Dalam pidato pengukuhan jabatannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Teori Sastra, Prof. Yapi Taum menyampaikan orasi ilmiah bertajuk "Teori Sastra, Memoria Passionis, dan Renaisans Bangsa.". Pidato ini bukan sekadar perayaan akademik, melainkan sebuah manifesto yang menantang amnesia sejarah dan menyerukan "makanan bergizi bagi jiwa" untuk generasi Indonesia Emas.
Sastra: Dari Alam Liar Menuju Peta Pembebasan
Prof. Yapi Taum membuka pidatonya dengan menyoroti kondisi kritik sastra modern yang ia sebut sebagai "alam liar" yang membingungkan. Berangkat dari kegelisahan intelektualnya saat membedah karya absurd Danarto, Godlob, puluhan tahun silam, ia menegaskan bahwa tanpa teori, teks sastra akan tetap bisa.
Dalam orasi ini, Prof. Yapi Taum menawarkan kontribusi teoretis yang signifikan dengan mereposisi paradigma klasik M.H. Abrams. Ia berargumen bahwa pendekatan tradisional (Mimetik, Objektif, Ekspresif, Pragmatik) tidak lagi cukup untuk membaca kompleksitas relasi kuasa dalam teks.
Ia memperkenalkan Pendekatan Diskursif dan Eklektik ke dalam peta tersebut. "Teks bukan sekadar representasi, melainkan medan pertarungan ideologi," tegasnya. Pendekatan diskursif inilah yang membongkar siapa yang bersuara dan siapa yang dibungkam dalam sebuah narasi.
Memoria Passionis: Merawat Ingatan Luka
Jantung dari pidato Prof. Yapi Taum terletak pada konsep Memoria Passionis—ingatan akan penderitaan. Mengutip teolog Johann Baptist Metz, ia menekankan bahwa ingatan ini bersifat subversif; ia menolak narasi sejarah resmi yang sering kali homogen dan manipulatif.
"Sastra adalah penjaga Memoria Passionis, ingatan atas luka kolektif bangsa," ujarnya.
Rekam jejak riset Prof. Yapi Taum membuktikan konsistensi tema ini. Dari penelitian lapangan di Kamboja mengenai rezim Khmer Merah , disertasinya tentang Representasi Tragedi 1965 hingga riset terbarunya mengenai memori kolektif pascakonflik di Timor-Leste.
Ia menemukan bahwa karya sastra Indonesia seputar Tragedi 1965 hampir seluruhnya merupakan karya memoria passionis yang berpihak pada sisi kemanusiaan korban, berbeda dari narasi resmi Orde Baru. Begitu pula dalam kasus Timor-Leste, risetnya mengungkap bahwa rekonsiliasi sejati tidak dibangun dengan melupakan, tetapi dengan keberanian menatap sejarah kelam.
"Negara Timor-Leste didirikan di atas pertikaian, konflik, darah, dan air mata... Memoria Passionis harus diangkat ke publik untuk menumbuhkan Compassio (belarasa)."
Renaisans Bangsa: Melampaui Pembangunan Fisik
Bagian paling politis dan visioner dari pidato ini adalah gagasan tentang Renaisans Bangsa. Prof. Yapi Taum mengkritik kecenderungan bangsa yang mengidap "amnesia historis" dan mewarisi dinasti kekerasan.
Ia mengajukan tesis bahwa kebangkitan bangsa (renaisans) bukanlah sekadar soal ekonomi atau infrastruktur, melainkan kebangkitan moral yang dipicu oleh empati sastra. Ia mencontohkan bagaimana novel Uncle Tom's Cabin di Amerika Serikat mampu mengubah pandangan publik tentang perbudakan lebih efektif daripada debat politik , serta bagaimana sastra Jerman pasca-Holocaust membantu bangsa tersebut melakukan rekonstruksi moral.
Seruan untuk Pemerintah: "MBJ" untuk Generasi Emas
Menutup orasinya, Prof. Yapi Taum menyampaikan pesan langsung kepada pemerintah terkait visi Indonesia Emas 2045. Ia mengapresiasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk kesehatan fisik anak-anak, namun mengingatkan adanya bahaya kelaparan batin.
"Kita tidak boleh membiarkan jiwa anak-anak Indonesia kelaparan," serunya dari podium.
Ia mendesak pemerintah untuk melengkapi program fisik tersebut dengan "Makanan Bergizi bagi Jiwa" (MBJ), yaitu penyediaan akses buku sastra bermutu secara gratis dan masif. Tanpa fondasi naratif dan empati yang diasah oleh sastra, ia memperingatkan bahwa upaya kebangkitan fisik-material hanya akan menghasilkan bangunan yang rapuh.
Pidato pengukuhan ini menegaskan posisi Prof. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. tidak hanya sebagai akademisi menara gading, tetapi sebagai intelektual publik yang meyakini bahwa sastra adalah "laboratorium moral" yang krusial bagi masa depan Indonesia yang beradab, toleran, dan manusiawi.
(**Konrad R Mangu)

1 Komentar
Sepakat dengan ini
BalasHapus