Unordered List

6/recent/ticker-posts

Ironi Pendidikan Kita : Gizi dan Candu

                                       



Sekolah, seharusnya menjadi benteng terakhir penjaga masa depan bangsa. Sekolah adalah ruang sakral tempat benih-benih kecerdasan sebuah generasi disemai dan gizi fisik serta mental dipupuk. Namun, realitas getir baru-baru ini menyentakkan kesadaran kita, seolah menghantam wajah pendidikan itu sendiri. Insiden di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, pada pertengahan Oktober 2025, yang saya sebut sebagai “Tamparan Banten,” adalah manifestasi paling pahit dari sebuah ironi sistemik.

Seorang Kepala Sekolah menampar muridnya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Konsekuensinya beruntun: protes siswa, laporan polisi dari orang tua, dan penonaktifan sang kepala sekolah. Terlepas dari perdebatan etika mengenai kekerasan di sekolah—yang jelas harus ditolak—kita perlu melihat insiden ini lebih dalam. Tamparan itu barangkali memperlihatkan reaksi spontan seorang pendidik yang frustrasi, tetapi juga jeritan keputusasaan dunia pendidikan yang terjepit di antara dua kepentingan yang saling bertolak belakang: upaya serius negara memberikan gizi bagi generasi penerus, dan pembiaran masif terhadap penetrasi candu nikotin yang didorong oleh industri rokok.

 

Investasi yang Sia-sia

Pemerintah saat ini tengah gencar menyiapkan program strategis, seperti penyediaan makan siang bergizi gratis di sekolah. Tujuan kebijakan ini sangat mulia: memastikan anak-anak Indonesia, sebagai calon "Generasi Emas 2045," mendapatkan asupan nutrisi yang cukup untuk mengoptimalkan perkembangan kognitif dan fisiknya. Program ini adalah investasi jangka panjang yang strategis, sebab gizi adalah fondasi dari kecerdasan dan kesehatan.

Akan tetapi, mari kita bayangkan skenario ini. Kita menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk sepiring makanan bergizi, dengan harapan anak menjadi cerdas. Tak lama setelah selesai makan, anak itu menyalakan sebatang rokok, menghirup nikotin dan ribuan zat kimia beracun lainnya. Seketika, manfaat gizi yang baru diserap tubuhnya mulai tergerus. Daya tahan tubuh melemah, paru-paru terancam, dan potensi kognitifnya terhambat.

Ironi ini diperburuk oleh fakta ekonomi yang menyedihkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) berulang kali menunjukkan, rokok menempati posisi kedua dalam daftar pengeluaran rumah tangga termiskin, setelah beras. Uang yang seharusnya dibelikan telur, sayur, atau bahkan untuk biaya pendidikan, justru dialihkan untuk membeli produk yang menghasilkan kerentanan kesehatan dan siklus kemiskinan berulang. Pemerintah berinvestasi pada gizi, sementara rumah tangga justru menghabiskan dana untuk candu. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat pemutus mata rantai kemiskinan dan kebodohan, justru dikepung oleh asap beracun ini.

 

Lumpuhnya Benteng Pendidikan

Sekolah secara hukum adalah Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Akan tetapi, kasus Banten menunjukkan bahwa peraturan itu seringkali hanya sekadar formalitas. Siswa merokok di lingkungan sekolah, bukan karena tidak tahu bahayanya, tetapi karena penetrasi candu telah begitu massif, dimulai dari lingkungan rumah, lingkungan sosial, hingga kemudahan akses pembelian.

Ketika seorang kepala sekolah memilih jalur kekerasan, hal itu mengindikasikan bahwa jalur edukasi dan pencegahan sudah dianggap tidak efektif. Kasus ini memperlihatkan  kegagalan kolektif yang bertingkat. Pertama, di sekeliling sekolah, iklan rokok, meski dibatasi, masih terlihat terang benderang. Penjualan rokok batangan kepada anak di bawah umur masih merajalela, menunjukkan lemahnya pengawasan di tingkat akar rumput. Kedua, sekolah gagal menyediakan mekanisme yang lebih humanis dan ilmiah untuk penanganan siswa perokok. Alih-alih merespons dengan layanan konseling dan rehabilitasi bagi siswa yang sudah kecanduan—sebagaimana yang dilakukan oleh pusat rehabilitasi narkoba—sekolah justru mengandalkan hukuman yang seringkali hanya memindahkan masalah, bukan menyembuhkannya. Ketiga, di balik semua fenomena ini, industri rokok terus bergerak agresif. Mereka tidak hanya menjerat anak-anak dengan nikotin, tetapi juga berusaha merayu institusi pendidikan melalui skema sponsor atau beasiswa. Hal ini menjelaskan mengapa sejumlah universitas terkemuka di Indonesia secara eksplisit melarang segala bentuk kerja sama atau penerimaan beasiswa dari perusahaan rokok dalam Peraturan Rektor mereka tentang KTR.

Jika institusi pendidikan tinggi saja harus bersusah payah membentengi diri dari ‘dana rokok’, maka sekolah menengah dan dasar jauh lebih rentan terhadap penetrasi candu dan jaring-jaring industrinya.

 

Keluar dari Keputusasaan

Kisah sukses beberapa universitas terkemuka yang menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) secara holistik harus menjadi cetak biru bagi pendidikan dasar dan menengah. Peraturan di kampus-kampus tersebut tidak berhenti pada larangan merokok di halaman, tetapi mencakup tiga pilar utama, 1) KTR di seluruh area kampus, termasuk larangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok; 2) Pembentukan Unit Konsultasi Berhenti Merokok yang menyediakan konseling dan terapi bagi sivitas akademika yang ingin melepaskan diri dari jerat candu; 3) Beberapa kampus bahkan mensyaratkan penerima beasiswa sebagai non-perokok aktif, menunjukkan komitmen nyata dalam mencetak pemimpin bangsa yang sehat.

Sekolah harus bertransformasi dari sekadar KTR menjadi Lingkungan Pendidikan Anti-Candu (LIPAC). Kepala sekolah tidak boleh lagi dibiarkan berjuang sendirian dengan modal amarah. Mereka harus diperkuat dengan sistem yang terstruktur: program edukasi bahaya rokok yang terintegrasi, unit konseling psikososial yang terlatih, dan dukungan regulasi daerah yang benar-benar memblokade akses siswa terhadap rokok.

 

Menarik Benang Merah

Tamparan Banten adalah cerminan dari kegagalan kita dalam menjaga integritas pendidikan. Tidak ada gunanya negara berinvestasi besar pada gizi, jika kita abai terhadap ancaman candu yang merusak investasi tersebut.

Memulihkan integritas pendidikan berarti menolak berkompromi terhadap candu nikotin. Hal ini menuntut keberanian pemerintah daerah dan pusat untuk memperkuat regulasi KTR, menutup celah pemasaran rokok di sekitar sekolah, dan yang paling penting, menjadikan intervensi rehabilitatif sebagai solusi utama bagi siswa perokok, alih-alih kekerasan atau hukuman yang mematikan harapan.

Hanya dengan menjadikan lingkungan sekolah benar-benar bersih dari asap dan pengaruh industri rokok, kita dapat memastikan bahwa gizi yang kita berikan, baik gizi fisik maupun intelektual, dapat tumbuh subur tanpa digerogoti oleh racun. Masa depan Generasi Emas menanti di ujung asap rokok ini. Sudah saatnya kita bertindak tegas dan sistematis.***

 )* Prof. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Dekan Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).

 

Posting Komentar

0 Komentar