·
Judul: Jejak-Jejak Ingatan:
Mengenang Masa Lalu, Mencintai Masa Depan Timor-Leste ·
Penulis: Yoseph Yapi Taum,
Patria Budi Suharyo, Paternus Eka Nugraha ·
Editor: Yoseph Yapi Taum, Patria
Budi Suharyo ·
Penerbit: Sanata Dharma
University Press ·
Tahun Terbit: Juli 2025 ·
ISBN: 978-623-143-115-8 |
·
Judul: Meraih Cahaya: Memori
Kolektif Timor-Leste Pascakonflik ·
Penulis: Yoseph Yapi Taum,
Patria Budi Suharyo, Paternus Eka Nugraha, Sarwo Edi Wardhana ·
Editor: Yoseph Yapi Taum, Patria
Budi Suharyo ·
Penerbit: Sanata Dharma
University Press ·
Tahun Terbit: Juli 2025 ·
ISBN: 978-623-143-121-9 |
Dari Peta
Penderitaan ke Simfoni Suara
Pendekatan
yang diusung dwilogi ini sangat penting dan menarik karena secara sadar ia
menolak jalan pintas amnesti atau narasi tunggal sang pemenang. Fondasi
filosofisnya adalah sebuah imperatif etis untuk menghadapi
"negativitas"—sisi gelap sejarah—sebagai syarat mutlak (conditio
sine qua non) bagi rekonsiliasi. Para penulis meminjam kerangka teologis memoria
passionis (ingatan akan penderitaan) bukan sebagai alat untuk membangkitkan
amarah, melainkan sebagai landasan moral bagi sebuah politik perdamaian yang
otentik. Mengingat penderitaan, terutama penderitaan "musuh", menjadi
jalan untuk menemukan kembali kemanusiaan yang terkoyak.
Secara
teoretis, proyek ini adalah manifestasi cemerlang dari teori memori kolektif
Maurice Halbwachs. Para penulis dengan jeli membedakan antara
"sejarah" sebagai rekonstruksi peristiwa yang (berpura-pura)
objektif, dengan "memori" sebagai konstruksi sosial yang hidup, cair,
subjektif, dan seringkali diperebutkan. Kedua buku ini secara metodologis
membelah tugas besar tersebut.
- Jejak-Jejak Ingatan berfungsi sebagai topografi memori. Ia adalah sebuah pemetaan
yang cermat atas lieux de mémoire (situs-situs ingatan)—ruang
fisik, produksi kultural (sastra, seni), ritus, dan teks—yang menjadi
wadah bagi ingatan kolektif. Buku ini melakukan arkeologi penderitaan,
menggali artefak-artefak memori untuk menunjukkan bagaimana trauma dan
perlawanan terukir dalam lanskap fisik dan budaya bangsa. Ia menjawab
pertanyaan: Di mana dan dalam bentuk apa ingatan itu hidup?
- Meraih Cahaya berfungsi sebagai polifoni memori. Ia beralih dari situs ke suara,
dari peta ke manusia. Buku ini menghidupkan para porteurs de mémoire
(pembawa ingatan) dan menyajikan sebuah simfoni suara yang seringkali
disonan. Dengan menyandingkan narasi pejuang kemerdekaan, pejuang
integrasi, veteran TNI, diaspora, hingga warga sipil yang tak berpihak,
buku ini menerapkan pendekatan heteroglossia—banyak suara—yang menolak
adanya satu kebenaran tunggal. Kebenaran, menurut buku ini, justru
terletak pada ketegangan dialektis di antara berbagai narasi yang saling
bertentangan. Ia menjawab pertanyaan: Siapa yang mengingat, dan
bagaimana mereka mengingatnya?
Jembatan Empati
dan Manual Rekonsiliasi
Jejak-Jejak Ingatan membawa kita menyusuri
lorong-lorong gelap sejarah, dari Penjara Aipelo di era Portugis hingga sel-sel
penyiksaan di Comarca Balide. Ia menunjukkan bagaimana sebuah lagu perjuangan
atau sebait puisi bisa menjadi "arsip tandingan" yang lebih jujur
daripada dokumen resmi negara. Usulannya untuk membangun "Monumen East
Timor Year Zero" bukanlah sekadar proyek fisik, melainkan sebuah argumen
kuat bahwa sebuah bangsa harus berani membangun monumen untuk kekalahannya,
untuk penderitaannya, bukan hanya untuk kejayaannya.
Sementara
itu, Meraih Cahaya melakukan sesuatu yang secara emosional jauh lebih
menantang. Ia meminta kita untuk duduk dan mendengarkan. Mendengarkan seorang
aktivis RENETIL yang menganggap perjuangannya bukan melawan rakyat Indonesia
melainkan rezim Orde Baru. Lalu, di halaman berikutnya, kita diminta
mendengarkan seorang veteran Operasi Seroja yang kehilangan kakinya dan merasa
pengorbanannya sia-sia, namun pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa rakyat
Timor-Leste "punya hak untuk merdeka". Inilah kekuatan terbesar buku
ini: ia tidak menghakimi, ia hanya menyajikan kemanusiaan dalam segala
kerumitannya.
Secara
Akademis, ia adalah model studi kasus yang luar biasa bagi kajian memori, studi
pascakonflik, dan keadilan transisional. Ia menunjukkan bagaimana penelitian
kualitatif yang mendalam dapat menjadi instrumen perdamaian itu sendiri. Secara
Kemanusiaan Praktis, kedua buku ini adalah manual untuk empati. Bagi masyarakat
Indonesia dan Timor-Leste, ini adalah bacaan wajib yang berfungsi sebagai
jembatan. Ia memaksa pembaca untuk melihat wajah manusia di balik label
"musuh", "pengkhianat", atau "penjajah". Ia
menunjukkan bahwa rekonsiliasi sejati bukanlah tentang kesepakatan politik di
tingkat elite, melainkan tentang pengakuan akar rumput atas luka dan
kemanusiaan bersama.
Hikmah untuk Dua
Bangsa
Buah
dan hikmah yang bisa dipetik dari dwilogi ini sangatlah mendalam. Ia
mengajarkan bahwa jalan menuju masa depan yang damai antara Indonesia dan
Timor-Leste tidak bisa dibangun di atas amnesia. Masa lalu yang penuh
pelanggaran HAM dan kekerasan harus diakui dan dipahami dari berbagai sisi.
Dwilogi ini membuktikan bahwa di balik narasi politik yang memecah belah, ada
pengalaman penderitaan universal yang justru bisa menyatukan.
Relasi
yang baik antara kedua negara menjadi sangat penting, bukan sebagai basa-basi
diplomatik, tetapi sebagai sebuah keniscayaan historis dan kemanusiaan. Proyek
intelektual yang berani ini telah menyediakan fondasinya: sebuah ruang di mana
ingatan yang paling menyakitkan sekalipun dapat diubah menjadi kebijaksanaan,
dan di mana suara-suara yang paling berbeda dapat berpadu dalam sebuah
pengakuan atas takdir bersama. Jejak-Jejak Ingatan dan Meraih Cahaya
adalah bukti bahwa untuk benar-benar mencintai masa depan, kita harus terlebih
dahulu berani berdamai dengan ingatan dan masa lalu yang kelam. ****
0 Komentar