Mengikuti perkembangan
kasus intoleransi pada beberapa tempat, sungguh memiriskan karena tindakan anarkis
dari kelompok intoleran, memperlihatkan batas-batas ketidakwajaran. Ruang-ruang
doa dari kelompok minoritas dipersempit melalui aksi pelarangan. Atas kasus-kasus
yang terjadi saat ini, memunculkan pertanyaan. Siapa yang bertanggung jawab
terhadap persoalan ini? Di manakah peran pemerintah dan aparat keamanan?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas mewarnai ruang kegelisahan masyarakat yang sepertinya tidak lagi
menaruh harap pada pemerintah dan aparat keamanan. Pemerintah dan aparat keamanan hadir setelah
terjadi perusakan tempat-tempat ibadah. Memang, banyak alasan yang muncul dan bahkan
melegalkan tindakan destruktif dari kelompok intoleran bahwa rumah-rumah doa
itu tidak memiliki ijin resmi dan mengganggu masyarakat sekitar. Dari peristiwa
ini harusnya masing-masing kelompok menjadikan kesempatan ini untuk berefleksi
diri, apakah rumah ibadah itu sudah memenuhi syarat untuk didirikan? Jika belum
memenuhi syarat, bagaimana caranya untuk mendapatkan legalitas dari pemerintah
setempat?
Dari pengalaman bersama tim perijinan gereja Katolik, langkah pertama yang dibangun adalah upaya menjalin komunikasi yang intens dengan warga sekitar. Warga sekitar adalah pendukung utama proses pendirian sebuah rumah ibadah. Potensi penolakan tentu ada, namun pihak yang hendak mendirikan rumah ibadah perlu terbuka untuk meyakinkan mereka akan esensi dasar pendirian rumah ibadah
itu. Dengan komunikasi dan memberikan gambaran akan pentingnya kehadiran rumah ibadah, bisa membuka wawasan dan cara pandang dari umat beragama lain untuk pada akhirnya menerima kehadiran rumah ibadah itu. Gereja Katolik melewati proses panjang untuk mendapatkan legalitas. Proses perijinan itu menempuh waktu lama dan mengorbankan banyak hal, namun ini semua dilakukan untuk mendapatkan rasa aman.Untuk apa
kehadiran Gereja? Ini pertanyaan sederhana namun tetap menggelitik nurani
setiap pengikut Kristus. kehadiran Gereja bukan untuk Gereja itu sendiri namun
mengarahkan perhatian bagi orang-orang sekitar. Gereja hanya menjadi bermakna ketika
memperlihatkan pengorbanannya untuk orang lain. Yesus memberikan teladan
kehidupan yang sangat berharga bagi kita. Ia berkorban dan bahkan memeluk
derita sampai mati di kayu salib, demi menyelamatkan umat manusia. Salib Kristus
melampaui ruang-ruang primordial dan melalui salib, ada harapan baru akan
keselamatan manusia.
Kasus-kasus
intoleransi menyadarkan kita, seberapa dalam kita memahami nilai-nilai
keagamaan kita masing-masing. Puncak pemahaman agama adalah cinta kasih. Setiap
agama mengajarkan tentang kasih dan kebaikan. Mari, kita wujudkan nilai-nilai
cinta kasih itu dalam relasi sosial dan menghargai umat beragama lain.
***Valery Kopong
0 Komentar