Unordered List

6/recent/ticker-posts

Dewan Senang, Rakyat Menderita

 

                                            



Catatan kritis seorang guru di pelosok negeri

Oleh :  Rida Nahak

Guru SMP Negeri 1 Sulamu Kabupaten Kupang NTT dan

Sekretaris DPC Asosiasi Guru Penulis Indonesia Cabang Kabupaten Kupang

 

Dalam konferensi pers RAPBN 2026 dan nota keuangan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Selatan, Jumat 15 Agustus 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan tidak ada kenaikan gaji PNS tahun 2026. Menurutnya, ruang fiskal dalam APBN 2026 sudah banyak terserap untuk mendanai program-program prioritas nasional Presiden Prabowo (Kompas, 16/8/2025). Hal ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan DPR. Saat gaji PNS tidak mengalami penambahan, DPR justru menambah sejumlah tunjangan di antaranya tunjangan beras dan rumah.

Sungguh menggegerkan publik dengan kabar tunjangan fantastis bagi anggota DPR RI. Mereka mengklaim gaji pokok sekian lama tidak naik, namun justru tunjangan yang didapat melesat hingga menimbulkan kecemburuan sosial. Bayangkan saja, menurut laporan Detik.com (17/8/2025), tunjangan beras naik dari Rp10 juta menjadi Rp12 juta per bulan, sementara tunjangan perumahan melonjak menjadi Rp50 juta per bulan setelah fasilitas rumah jabatan dihapus. Total pendapatan anggota DPR RI kini bisa menyentuh angka Rp69–70 juta per bulan.

Pertanyaan sederhana patut dijawab: apa urgensinya tunjangan beras sebesar Rp12 juta per bulan bagi para wakil rakyat? Harga rata-rata beras premium di pasaran saat ini Rp12–15 ribu per kilogram. Dengan tunjangan Rp12 juta, seorang anggota DPR bisa membeli 1 ton beras per bulan. Padahal kebutuhan beras untuk  sebuah keluarga kecil hanya 100–150 kilogram per bulan. Lalu, tunjangan sebesar itu mau diberikan kepada siapa? Apakah relevan dengan kebutuhan hidup seorang wakil rakyat? Tidak sampai di situ saja, kompensasi rumah para anggota dewan mencapai Rp50 juta per bulan. Nominal yang sangat tinggi. Ironisnya, di saat rakyat menderita dengan harga kebutuhan pokok yang mencekik leher, para wakil rakyat justru berbahagia dengan tunjangan yang  fantastis.

Sekjen DPR Indra Iskandar mengatakan, anggota DPR periode 2024–2029 tidak lagi mendapat fasilitas rumah jabatan. Oleh sebab itu, diberikan tunjangan rumah jabatan Rp50 juta per bulan. Ia beralasan angka itu setara biaya sewa rumah di kawasan elite Senayan, Semanggi, hingga Kebayoran Baru. Pertanyaannya, apakah para wakil rakyat ini tidak bisa menyewa rumah di lokasi sederhana? Bukankah gaji dan tunjangan lain yang mereka dapat sudah lebih dari cukup untuk hidup layak?

Di sisi lain, mari kita lihat realita rakyat. UMR tertinggi per 1 Januari 2025 ada di Jakarta, Rp 5,3 juta per bulan (Metro TV, 31 Juli 2025). Sementara gaji pokok ASN golongan tinggi dengan masa kerja puluhan tahun  hanya Rp6,3 juta per bulan tanpa tunjangan. Bahkan di pelosok negeri, seorang guru PAUD hanya mendapat upah Rp 250 ribu per bulan, guru honorer rata-rata di bawah Rp 2 juta. Bagi mereka, membeli beras Rp 150 ribu per 10 kilogram saja sudah memberatkan. Kontras sekali dengan wakil rakyat yang menerima tunjangan beras setara 1–2 ton setiap bulan. UUD 1945 Pasal 33 dan 34 jelas mengamanatkan negara untuk mengelola kekayaan demi kemakmuran rakyat dan memelihara fakir miskin. Namun realita menunjukkan jurang yang dalam antara amanat konstitusi dan implementasi kebijakan. Dewan Sejahtera rakyat menderita.

Catatan kritis ini bukanlah kebencian personal terhadap wakil rakyat. Sejatinya, peran DPR sebagai pembuat undang-undang dan pengawas pemerintah sangat dihormati. Karena itu, seharusnya standar moral kehidupan sederhana melekat erat pada diri mereka. Wakil rakyat harus berani hidup sederhana, membumi, dan ikut merasakan denyut nadi penderitaan rakyat. Bukan justru menikmati fasilitas yang menjauhkan mereka dari realita. Apalagi dengan alasan “gaji pokok tidak naik”, karena faktanya gaji pokok hanyalah sebagian kecil dari total pendapatan. Dengan berbagai tunjangan, penghasilan DPR tetap berkali lipat lebih besar dibanding mayoritas rakyat.

Kisah  ini makin menyakitkan hati  Ketika rakyat  diminta bersabar menghadapi situasi yang mengerikan ini. Saat harga BBM naik, rakyat diminta sabar. Saat tarif listrik naik, rakyat diminta sabar. Bahkan ketika harga sembako mencekik leher, rakyat diminta untuk tetap sabar. Pertanyaan yang belum terjawab: kapan pejabat negara ikut merasakan kesabaran itu? Mengapa justru di tengah kesulitan rakyat, tunjangan pejabat malah bertambah fantastis? Kesenjangan ini bukan sekadar persoalan ekonomi, tapi juga moral dan politik. Bagaimana mungkin DPR memperjuangkan kebijakan pro-rakyat jika dalam keseharian mereka jauh dari kehidupan rakyat? Bagaimana mungkin DPR memahami perihnya membeli sembako dengan gaji pas-pasan, jika setiap bulan mereka mendapat tunjangan beras Rp 12 juta dan sewa rumah Rp 50 juta?

Sudah waktunya paradigma kemewahan wakil rakyat diubah. Mereka bukan simbol kemewahan, tapi teladan kesederhanaan. Fasilitas mewah harus dikurangi demi solidaritas kepada rakyat. Itulah yang akan meningkatkan legitimasi DPR di mata publik. Rakyat butuh wakil yang bisa dipercaya, bukan sekadar pandai berbicara namun hidup berlimpah tunjangan.

Pada akhirnya, kritik ini adalah panggilan nurani seorang anak negeri yang ikut merasakan pahitnya hidup rakyat biasa. Kesejahteraan DPR bukan masalah, tapi ketidakadilan mencolok ini harus diubah demi kesejahteraan bersama. Jika DPR ingin benar-benar disebut wakil rakyat, sudah saatnya mereka berani mengoreksi kebijakan tunjangan berlebihan. Sebab keadilan sosial bukan hanya semboyan sila kelima Pancasila saja, melainkan cita-cita bangsa yang harus diwujudkan.

Tunjangan beras Rp12 juta dan kompensasi rumah Rp 50 juta per bulan adalah keputusan yang melukai hati rakyat. DPR perlu bercermin: masih layakkah mereka disebut wakil rakyat jika hidupnya jauh dari rakyat? Mari berefleksi!!!

Keterangan foto: 

Guru SMP Negeri 1 Sulamu Kabupaten Kupang NTT 


Posting Komentar

0 Komentar