Unordered List

6/recent/ticker-posts

Kurikulum Antikorupsi, Apa Perlu ?

 


                                            


 

                                       Oleh ; Carol Kapitan Etoehaq

                                           Penulis yang Tidak Menulis

 

          Presiden Senegal, Bassirou Diomaye Fayel, tidak menghendaki agar foto dirinya sebagai Presiden dan Wakil Prsiden, tidak boleh dipajang, dipasang di setiap ruangan kantor termasuk sekolah, baik institusi pemerintahaan (negeri) maupun swasta. Beliau menghendaki agar foto keluarga dan anak-anak yang dipasang setiap ruangan, tempat di mana para pegawai, karyawan bekerja. Menurut Diomaye Fayel, “Saya bukan Dewa, bukan ikon, saya hanyalah pelayan rakyat.” Demikiam kata Presiden penganut poligami ini dengan tegas. Dengan memasang foto keluarga dan anak-anak di semua ruangan kerja, sang Presiden berharap, agar setiap bentuk kecurangan, termasuk korupsi, yang terjadi dalam proses kerja, dapat dicegah, diberantas, ketika menatap foto keluarga dan anak-anak…. Apakah keluarga dan anak-anak pantas menerima imbalan dari hasil korupsi dan kecurangan….? Itulah sebuah fenomena sekaligus model upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi  Republik Senegal yang nun jauh di  sana.

Korupsi bukan lagi sebuah gejala sosial tapi sudah menjadi sebuah fakta sosial (social factum) dalam sebuah kehidupan  bernegara. Hampir semua negara di dunia ini tidak luput dari masalah korupsi. Bahkan sampai ada pernyataan bernada guyon, ‘kalau tidak ada korupsi, itu bukan negara namanya…..hehe.” Sebelumnya, paling  tidak, sekitar awal tahun 1990-an, saya berpikir, korupsi hanyalah sebuah gejala sosial, sebuah kecenderungn para elte politik dan birokrat sesaat, sehingga bagi saya, korupsi lebih merupakan sebuah tindakan insidental, karena ada peluang untuk melakukan korupsi. Namun, kenyataan menunjukkan hal yang berbeda.

Korupsi sudah menjadi penyakit menular yang akut di negeri tercinta ini. Sebagai penyakit menular, korupsi tetap saja mengganas dan meracuni semua sektor kehidupan. Korupsi terus berjalan, ibarat patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu. Korupsi terjadi dalam semua sector kehidupan, termasuk bidang penddidikan. Semua ini dilakukan dengan sadar, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan berbagai alasan, yang secara kasat mata terbilang cukup rasional sekaligus moderat. Negara pun tidak tinggal diam. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak kunjung henti berusaha unuk memberantas dan memberangusnya. Sudah banyak koruptor yang digelandang ke balik jeruju besi, tapi itu tak serta merta menyurutkan keinginan bahkan nyali bagi para calon koruptor yang lain. Tanpa rasa malu dan risih, mereka terus berlomba untuk berperilaku korup.

Tanggap akan berbagai kondisi negara, termasuk masalah korupsi di Tanah Air, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan bertindak tegas, tanpa pandang bulu, bagi siapa saja yang melanggar hukum, termasuk para pelaku korupsi. Dalam sebuah pidato yang diunggah Medsos, Presiden Prabowo secara tegas mengatakan kepada semua aparatur negara untuk berbenah, membersihkan diri, sebelum sebelum dibersihkan. Negara akan bertindak tanpa pandang bulu, bagi siapa saja yang melakukan pencurian dan merampok uang negara. Semua upaya ini dilakukaan,  hanya untuk mencegah, dan memberantas korupsi, yang sudah akut, dan meenjadi penyakit menular,dan meracuni masyarakat, negara dan bangsa Indonesia, negeri yang kita cintai ini.

 

Kurikulum Antikorupsi

 

Sebagai sebuah jalan keluar bagi negara dan bangsa kita yang sedang gencar berupaya untuk memberantas korupsi, kampanye antikorupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perlu dilakukan koordinasi dan kooperatif antara KPK dan Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, (kalau memang harus perlu?) untuk melahirkan sebuh Kurikulum Anti Korupsi, yang akan diselenggarakan di semua sekolah secara komprehensif, sesuai jenjang pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memutus mata rantai paraktek korupsi generasi sekarang, agar para generasi muda saat ini dan masa mendatang, tidak terkontaminasi dengan berbgai perilaku korup yang ditunjukkan oleh para elite politik dan birokrats saat ini. 

Sebagai orang bodoh, penulis tidak tahu, entah seperti apa, model kurikulum antikorupsi, yang akan dibuat oleh para pakar bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait. Tetapi bagi penulis, semangat antikorupsi harus menjadi sebuah gerakan secara nasional, serta menjadi bagian intergral, dari aktivitas kependidikan national, dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Dengan demikan, aktivitas kependidikan di negeri ini, diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia muda yang bukan hanya menghindarkan diri dari korupsi, melainkan anti terhadap setiap perilku korup. Bukan saja taat hukum dan moral dengan jalan tidak korupsi, tapi selalu proaktif mendukung berbagai upaya pemberantasan korupsi.

Melihat realitas kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan korupsi seolah sebagai bagian integral dari proses penyelenggaraan negara, gagasan tentang Kurikulum Antikorupsi menemukan relevansinya, dan perlu direspon secara positif. Persoalannya, adalah apakah Kurikulum Antikorupsi ini sungguh  dibutuhkan, dan perlu….? Apakah dengan menghadirkan Kurikulum Antikorupsi, dapat menghasilkan generasi muda tunas bangsa, yang berada di Sekolah hingga Kampus, bena-benar berjiwa antikorupsi sebagaiamana yang diharapkan….? Beberaapa postulasi berikut, mungkin tidak akan menjawab pertanyaan di atas secara sempurna, tapi dapat menjadi inspirasi, perlu dan layak menjad pertimbangan….

Pertama, membuat, atau layaknya mencanangkan kurikurikulum baru, yakni kurikulum antikorupsi, dapat  memberi implikasi anggapan, bahwa masalah Pendidikan nasional, ada pada kurikulum. Sebab, dari semua kurikulum yang sudah berlaku selama inilah, yang melahirkan kita, termasuk para koruptor yang sudah menggerogoti berbagai sendi kehidupan bangsa. Hal ini berarti,  kurikulum kita selama ini dianggap  tidak memiliki energi untuk menghantar orang (peserta didik) menjadi orang yang berjiwa jujur dan antikorupsi. Namun, apakah benar demkian? Kurikulum kita memang berganti dari waktu ke waktu, layaknya sebuah ekperimen tanpa henti. Akan tetapi semua ini bukan berarti kurikulum tidak bernilai antikorupsi. Kurikulum kita selama ini jelas antikorupsi, hanya tidak digariskan secara spesifik dan eksplisit, sebagai kurikulum antikorupsi. Karena itu, gagasan pencanangan kurikulum antikorupsi, tidak memberi antithesis baru bagi kurikulum sebelumnya, melainkan hanya bersifat membenahi, menggenapi, dan melegitimasi kurikulum yang sudah ada.

Kedua, masalah kita sebetulnya bukan kekurangan perangkat kurikulum untuk mencegah korupsi dan memproduksi manusia antikorupsi. Masalah kita adalah ketidakseriusan institusi pendidikan, untuk membangun kultur kejujuran dalam diri para peserta didik. Bukankah yang dimaksudkan dengan tamatan antikorupsi adalah tamatan yang jujur, tahan godaan dan malu bertindak curang? Dan bukankah korupsi, nyontek dan plagiat itu nada dasarnya sama, yakni sama-sama curang, potong kompas dan bermental enak? Karena itu, bila sekolah dan kampus berani menindak tegas para murid dan mahasiswa yang curang kala ujian, para plagiator, dan yang semacamnya, maka sekolah dan kampus sedang menempa mental kejujuran sebagai prasyarat dasar kultur antikorupsi di tengah masyarakat.

Ketiga, korupsi terjadi bukan karena kelemahan kognisi atau kekurangan pengetahuan tentang korupsi dan berbagai bahaya yang akan menimpa koruptor. Tetapi korupsi terjadi karena minimnya internalisasi terhadap setumpuk ilmu dan nilai yang diperoleh lewat pendidikan, serta tumpulnya sensitivitas nurani peserta didik. Bukan karena lemah nalar, melainkan karena lemah moral. Buktinya banyak orang pintar yang tersangkut skandal korupsi. Selain itu, banyak perkara korupsi raksasa terjadi, bukan karena kecelakaan administratif, melainkan karena memang "tahu dan mau". Dan itu didasari bukan karena desakan kebutuhan, tetapi karena ketamakan manusiawi. Karena itu, memperluas jangkauan regulasi sekolah dan kampus, hingga menyentuh penyemaian sensitivitas antikorupsi, tidak harus dengan membuat satu kurikulum baru. Mata kuliah antikorupsi pun tidak perlu, tetapi yang lebih mendesak adalah komitmen membangun kultur anticurang dalam diri peserta didik dan insan akademik dalam setiap lini kehidupan sekolah dan kampus.

          Keempat, apa pun bentuknya, sebuah kurikulum baru bukan hanya merupakan investasi perangkat sistem pendidikan, tetapi juga investasi anggaran. Artinya, kurikulum baru, akan menuntut biaya atau anggaran baru. Benar, bahwa untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, biaya berapa pun harus dikeluarkan. Namun, proses penanaman nilai-nilai antikorupsi dalam diri peserta didik, apakah harus dengan ‘sesuatu’ yang membutuhkan alokasi anggaran baru? Untuk secara tegas menindak mahasiswa/I dan plagiator, tidak harus membutuhkan buku baru, biaya pelatihan dan lokakarya sebagaimana untuk memproduk dan men sosialisasikan kurikulum baru. tetapi cukup dengan komitmen dan tindakan. Jangan berbaju baru dengan kurikulum antikorupsi, tetapi berhati dan berperilaku budaya lama yang sangat koruptif.

Akan tetapi, bangsa kita tampaknya doyan untuk memadam persoalan dengan menawarkan sesuatu yang baru, dan bukan dengan menjalankan secara benar apa yang sudah ada. Selalu mencoba untuk membenahi sistem dan kerangka regulasi, tetapi tidak jarang juga lupa internalisasi dan pembudayaan. Karena itu, bila pendidikan karakter dan budi pekerti berjalan yang dan dengan benar, pencanangan kurikulum antikorupsi tidak ada  relevansinya. Namun, dengan melihat realtas sosiaal yang sedang berlangsung sekarang ini, untuk menyonsong Indonesia emas 2045, pencanangan Kurikulum Antikorupsi, dapat menjadi sebuah kebutuhan mendesaak yang layak untuk diprtimbangkan… Kurikulum antikorupsi, mengapa tidak, tapi apakah perlu?***

Penulis, pemerhati pendidikan





 

 

 

 

 

 

 

 

 


Posting Komentar

0 Komentar