Oleh ; Carol Kapitan Etoehaq
Penulis yang Tidak Menulis
Presiden Senegal, Bassirou Diomaye Fayel, tidak menghendaki agar foto dirinya sebagai Presiden dan Wakil Prsiden, tidak boleh dipajang, dipasang di setiap ruangan kantor termasuk sekolah, baik institusi pemerintahaan (negeri) maupun swasta. Beliau menghendaki agar foto keluarga dan anak-anak yang dipasang setiap ruangan, tempat di mana para pegawai, karyawan bekerja. Menurut Diomaye Fayel, “Saya bukan Dewa, bukan ikon, saya hanyalah pelayan rakyat.” Demikiam kata Presiden penganut poligami ini dengan tegas. Dengan memasang foto keluarga dan anak-anak di semua ruangan kerja, sang Presiden berharap, agar setiap bentuk kecurangan, termasuk korupsi, yang terjadi dalam proses kerja, dapat dicegah, diberantas, ketika menatap foto keluarga dan anak-anak…. Apakah keluarga dan anak-anak pantas menerima imbalan dari hasil korupsi dan kecurangan….? Itulah sebuah fenomena sekaligus model upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi Republik Senegal yang nun jauh di sana.
Korupsi bukan lagi sebuah gejala sosial tapi sudah
menjadi sebuah fakta sosial (social factum) dalam sebuah kehidupan bernegara. Hampir semua negara di dunia ini
tidak luput dari masalah korupsi. Bahkan sampai ada pernyataan bernada guyon,
‘kalau tidak ada korupsi, itu bukan negara namanya…..hehe.” Sebelumnya,
paling tidak, sekitar awal tahun
1990-an, saya berpikir, korupsi hanyalah sebuah
gejala sosial, sebuah kecenderungn para elte politik dan birokrat sesaat,
sehingga bagi saya, korupsi lebih merupakan sebuah tindakan insidental, karena
ada peluang untuk melakukan korupsi. Namun, kenyataan menunjukkan hal yang
berbeda.
Korupsi
sudah menjadi penyakit menular yang akut di negeri tercinta ini. Sebagai
penyakit menular, korupsi tetap saja mengganas dan meracuni semua sektor
kehidupan. Korupsi terus berjalan, ibarat patah tumbuh hilang berganti, mati
satu tumbuh seribu. Korupsi terjadi dalam semua sector kehidupan, termasuk
bidang penddidikan. Semua ini dilakukan dengan sadar, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan berbagai alasan, yang secara kasat mata terbilang
cukup rasional sekaligus moderat. Negara pun tidak tinggal diam. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tak kunjung henti berusaha unuk memberantas dan
memberangusnya. Sudah banyak koruptor yang digelandang ke balik jeruju besi,
tapi itu tak serta merta menyurutkan keinginan bahkan nyali bagi para calon
koruptor yang lain. Tanpa rasa malu dan risih, mereka terus berlomba untuk
berperilaku korup.
Tanggap
akan berbagai kondisi negara, termasuk masalah korupsi di Tanah Air, Presiden
Prabowo Subianto menegaskan akan bertindak tegas, tanpa pandang bulu, bagi
siapa saja yang melanggar hukum, termasuk para pelaku korupsi. Dalam sebuah
pidato yang diunggah Medsos, Presiden Prabowo secara tegas mengatakan kepada
semua aparatur negara untuk berbenah, membersihkan diri, sebelum sebelum
dibersihkan. Negara akan bertindak tanpa pandang bulu, bagi siapa saja yang
melakukan pencurian dan merampok uang negara. Semua upaya ini dilakukaan, hanya untuk mencegah, dan memberantas
korupsi, yang sudah akut, dan meenjadi penyakit menular,dan meracuni
masyarakat, negara dan bangsa Indonesia, negeri yang kita cintai ini.
Kurikulum
Antikorupsi
Sebagai
sebuah jalan keluar bagi negara dan bangsa kita yang sedang gencar berupaya
untuk memberantas korupsi, kampanye antikorupsi yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), perlu dilakukan koordinasi dan kooperatif antara
KPK dan Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Riset dan Pendidikan
Tinggi, (kalau memang harus perlu?) untuk melahirkan sebuh Kurikulum Anti
Korupsi, yang akan diselenggarakan di semua sekolah secara komprehensif, sesuai
jenjang pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memutus mata rantai
paraktek korupsi generasi sekarang, agar para generasi muda saat ini dan masa
mendatang, tidak terkontaminasi dengan berbgai perilaku korup yang ditunjukkan
oleh para elite politik dan birokrats saat ini.
Sebagai
orang bodoh, penulis tidak tahu, entah seperti apa, model kurikulum antikorupsi,
yang akan dibuat oleh para pakar bidang pendidikan dan bidang lain yang
terkait. Tetapi bagi penulis, semangat antikorupsi harus menjadi sebuah gerakan
secara nasional, serta menjadi bagian intergral, dari aktivitas kependidikan
national, dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Dengan demikan, aktivitas
kependidikan di negeri ini, diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia muda
yang bukan hanya menghindarkan diri dari korupsi, melainkan anti terhadap
setiap perilku korup. Bukan saja taat hukum dan moral dengan jalan tidak
korupsi, tapi selalu proaktif mendukung berbagai upaya pemberantasan korupsi.
Melihat
realitas kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan korupsi seolah sebagai
bagian integral dari proses penyelenggaraan negara, gagasan tentang Kurikulum
Antikorupsi menemukan relevansinya, dan perlu direspon secara positif.
Persoalannya, adalah apakah Kurikulum Antikorupsi ini sungguh dibutuhkan, dan perlu….? Apakah dengan
menghadirkan Kurikulum Antikorupsi, dapat menghasilkan generasi muda tunas
bangsa, yang berada di Sekolah hingga Kampus, bena-benar berjiwa antikorupsi
sebagaiamana yang diharapkan….? Beberaapa postulasi berikut, mungkin tidak akan
menjawab pertanyaan di atas secara sempurna, tapi dapat menjadi inspirasi,
perlu dan layak menjad pertimbangan….
Pertama,
membuat, atau layaknya mencanangkan kurikurikulum baru, yakni kurikulum
antikorupsi, dapat memberi implikasi
anggapan, bahwa masalah Pendidikan nasional, ada pada kurikulum. Sebab, dari
semua kurikulum yang sudah berlaku selama inilah, yang melahirkan kita,
termasuk para koruptor yang sudah menggerogoti berbagai sendi kehidupan bangsa.
Hal ini berarti, kurikulum kita selama
ini dianggap tidak memiliki energi untuk
menghantar orang (peserta didik) menjadi orang yang berjiwa jujur dan
antikorupsi. Namun, apakah benar demkian? Kurikulum kita memang berganti dari
waktu ke waktu, layaknya sebuah ekperimen tanpa henti. Akan tetapi semua ini
bukan berarti kurikulum tidak bernilai antikorupsi. Kurikulum kita selama ini
jelas antikorupsi, hanya tidak digariskan secara spesifik dan eksplisit,
sebagai kurikulum antikorupsi. Karena itu, gagasan pencanangan kurikulum
antikorupsi, tidak memberi antithesis baru bagi kurikulum sebelumnya, melainkan
hanya bersifat membenahi, menggenapi, dan melegitimasi kurikulum yang sudah
ada.
Kedua,
masalah kita sebetulnya bukan kekurangan perangkat kurikulum untuk mencegah
korupsi dan memproduksi manusia antikorupsi. Masalah kita adalah
ketidakseriusan institusi pendidikan, untuk membangun kultur kejujuran dalam
diri para peserta didik. Bukankah yang dimaksudkan dengan tamatan antikorupsi
adalah tamatan yang jujur, tahan godaan dan malu bertindak curang? Dan bukankah
korupsi, nyontek dan plagiat itu nada dasarnya sama, yakni sama-sama curang,
potong kompas dan bermental enak? Karena itu, bila sekolah dan kampus berani
menindak tegas para murid dan mahasiswa yang curang kala ujian, para plagiator,
dan yang semacamnya, maka sekolah dan kampus sedang menempa mental kejujuran
sebagai prasyarat dasar kultur antikorupsi di tengah masyarakat.
Ketiga,
korupsi terjadi bukan karena kelemahan kognisi atau kekurangan pengetahuan
tentang korupsi dan berbagai bahaya yang akan menimpa koruptor. Tetapi korupsi
terjadi karena minimnya internalisasi terhadap setumpuk ilmu dan nilai yang
diperoleh lewat pendidikan, serta tumpulnya sensitivitas nurani peserta didik.
Bukan karena lemah nalar, melainkan karena lemah moral. Buktinya banyak orang
pintar yang tersangkut skandal korupsi. Selain itu, banyak perkara korupsi
raksasa terjadi, bukan karena kecelakaan administratif, melainkan karena memang
"tahu dan mau". Dan itu
didasari bukan karena desakan kebutuhan, tetapi karena ketamakan manusiawi.
Karena itu, memperluas jangkauan regulasi sekolah dan kampus, hingga menyentuh
penyemaian sensitivitas antikorupsi, tidak harus dengan membuat satu kurikulum
baru. Mata kuliah antikorupsi pun tidak perlu, tetapi yang lebih mendesak
adalah komitmen membangun kultur anticurang dalam diri peserta didik dan insan
akademik dalam setiap lini kehidupan sekolah dan kampus.
Keempat,
apa pun bentuknya, sebuah kurikulum baru bukan hanya merupakan investasi
perangkat sistem pendidikan, tetapi juga investasi anggaran. Artinya, kurikulum
baru, akan menuntut biaya atau anggaran baru. Benar, bahwa untuk mencapai
sesuatu yang lebih baik, biaya berapa pun harus dikeluarkan. Namun, proses
penanaman nilai-nilai antikorupsi dalam diri peserta didik, apakah harus dengan
‘sesuatu’ yang membutuhkan alokasi anggaran baru? Untuk secara tegas menindak
mahasiswa/I dan plagiator, tidak harus membutuhkan buku baru, biaya pelatihan
dan lokakarya sebagaimana untuk memproduk dan men sosialisasikan kurikulum
baru. tetapi cukup dengan komitmen dan tindakan. Jangan berbaju baru dengan
kurikulum antikorupsi, tetapi berhati dan berperilaku budaya lama yang sangat
koruptif.
Akan tetapi, bangsa kita tampaknya doyan untuk memadam persoalan dengan menawarkan sesuatu yang baru, dan bukan dengan menjalankan secara benar apa yang sudah ada. Selalu mencoba untuk membenahi sistem dan kerangka regulasi, tetapi tidak jarang juga lupa internalisasi dan pembudayaan. Karena itu, bila pendidikan karakter dan budi pekerti berjalan yang dan dengan benar, pencanangan kurikulum antikorupsi tidak ada relevansinya. Namun, dengan melihat realtas sosiaal yang sedang berlangsung sekarang ini, untuk menyonsong Indonesia emas 2045, pencanangan Kurikulum Antikorupsi, dapat menjadi sebuah kebutuhan mendesaak yang layak untuk diprtimbangkan… Kurikulum antikorupsi, mengapa tidak, tapi apakah perlu?***
Penulis, pemerhati pendidikan
0 Komentar